Kamis, 07 Juli 2011

RENUNGAN MALAM: "TERCABIK DI DEPAN MATA PUTRA-PUTRINYA"


 Sapaan seorang sahabat untuk para sahabat,


Kata orang dan memang benar bahwa iman itu  tumbuh subur jika ada tantangan dan tekanan dari kesekitarannya. Demikian pun ide cerita akan tertuang menjadi sebuah tulisan biasanya  lahir dari disposisi atau pengalaman pribadi sang penulis, atau pun karena pengalaman orang lain dan kondisi kesekitaranny...a yang menjadi latar belakangnya.



“TERCABIK DI DEPAN MATA
PUTRA-PUTRINYA”

         
“Potongan-potongan itu coba kusatukan dan terlihatlah mantol biru
dan senyum manis nan mempesona dari sosok orang yang ada
pada lembaran kertas foto berukuran 3x4 itu.”


          Misa jam 7 di kapel kecil itu pun selesai dan seperti biasanya aku bergegas menyusuri lorong kecil itu menuju jalan utama untuk menanti angkot yang lewat ke pusat pertokoan Cubao di mana saya akan mengganti kendaraan dengan menumpang kereta api menuju station terdekat dengan tempat kostku. Tiba-tiba hatiku menggerakkan mata untuk memandang ke kumpulan sampah yang tertimbun dan siap diangkut oleh mobil kebersihan kota Manila. Wow…terlihat potongan-potongan sebuah foto berukuran 3x4. Dengan setengah menunduk aku mencoba mencari, mengumpulkan dan menyusun kembali potongan-potongan yang berhamburan itu sampai terlihat wajah cantik seorang gadis. Mantol birunya terlihat ternoda akibat embun pagi yang telah mengubah sebagian warnanya menjadi putih, sedangkan wajah cantiknya tetap utuh layaknya sebuah foto baru. Dari cirri-ciri foto iti lalu kukenal bahwa itu adalah Bundaku yang sangat kucintai. Ya, dialah Bunda Maria. Hati seakan teriris melihat potongan gambar Bunda seperti itu, tapi aku mau menghibur diri dengan mengatakan, ‘itu kan cuma sebuah foto biasa.’ Yang dipercayai dan diimani kan bukan gambarnya tetapi pribadinya. Hatiku pun tenang dan meneruskan perjalananku untuk menanti angkot kota yang akan lewat.

            Sebuah angkot dengan jurusan Cubao berhenti di depanku dan dalam sekejab aku sudah duduk di dalamnya. Selama perjalanan itu, rasanya hatiku tidak tenang mengenang gambar foto Bunda yang tercabik-cabik di kotak sampah itu. Aku hanya bertanya dalam hati; Di sini, di Negara yang menjadikan Bunda sebagai pelindung dan mempunyai devosi yang sangat luar biasa kepada Bunda, tapi masih adakah tangan jahil yang berbuat seperti itu terhadap Bunda walaupun hanya dalam bentuk selembar foto? Itu kan cuma sebuah foto, yang penting pribadi yang kepadanya Anda beriman, demikianlah aku selalu menghibur diri ketika perasaan itu muncul setiap saat dalam perjalanan yang kira-kira ditempuh dalam 30 menit itu. Pikiranku kembali ke DAMBRI-Vietnam ketika ada suara yang berbisik di kedalam jiwaku pada saat memandang patung Bunda Maria, “bahkan untuk dijual pun aku rela.” Sekarang pun putraku; “untuk diperlakukan seperti itu pun aku tersenyum saja.”

            Situasi yang tenang dan damai pun kurasakan di hati ketika aku memasuki pintu kereta api. Kereta pun bergerak menuju station terdekat dengan tempat kostku. Walaupun  jaraknya lumayan jauh tapi karena masih pagi maka aku berjalan saja dari station kereta api ke tempat kostku yang kira-kira kutempuh dengan durasi waktu 15-20 menit. Sialnya, dalam perjalanan itu, pikiran tentang foto Bunda yang tercabik muncul kembali bahkan seakan membuat semua peristiwa dan kata-kata penghinaan terhadap Bunda menjadi jelas selama waktu perjalanan 20 menit itu.

            Bisikan suara itu semakin membuatku seperti orang linglung, memandang ke kiri dan kanan tanpa obyek pasti. Sejak pertama menerima kabar suka cita yang menyakitkan itu, Bunda hanya menahan rasa malunya; demikian pun ketika mau diceraikan oleh Jusuf, Bunda hanya berpasrah; ketika ditolak di semua penginapan di Betlehem, Bunda pun hanya tersenyum ketika dituntun oleh Jusuf menuju kandang binatang itu; ketika ditantang oleh Yesus dalam peristiwa di Kana, Bunda pun tidak mundur dengan imannya; ketika dijawab dengan kata-kata menyakitkan oleh Yesus buah hatinya di Bait Allah, Bunda pun cuma merenung; ketika  tidak dihiraukan oleh Yesus yang kepadanya orang mengatakan bahwa ibumu ingin bertemu dengan Engkau, Bunda pun sabar menanti; ketika orang mendera dan menyiksa putranya, Bunda pun cuma menahan kesedihannya; ketia pandangan mata sang putra menatapnya dalam penderitaan di kayu salib, Bunda pun hanya membalasnya dengan senyum keibuannya; dan akhirnya, Bunda pun tanpa berkata-kata mengendong tubuh kaku sang putra di pangkuannya dalam diam yang memilukan hati ketika Yusuf dari Arimatea menurunkannya dari Salib itu. Semuanya hanya karena Bunda telah berkata kepada Tuhannya lewat malaikat Gabriel; “Sesungguhnya, aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.”

          Tak terasa, aku sudah melewati jalan terdekat ke tempat kostku sehingga harus memutar lagi sekitar 5-7 menit. Heheheh..tertawa diri sendiri daripada selalu ingin menertawakan kebodohan dan kesalahan orang lain. Sialnya, suara itu kembali berggema di hatiku dalam kisaran 7 menit itu dengan lebih keras; Tahukah engkau bahwa deritaku tak pernah berhenti sampai sekarang? Derita untuk diriku masih bisa kuterima karena aku memiliki hati yang sudah terbiasa menderita, tetapi penghinaan kepada putraku hanya  semakin mempercepat murka Allah akan dunia dan orang-orangmu. Aku seakan bertanya pada diriku sendiri; Berapa juta orang dalam satu generasi yang menolak, mencela dan bahkan mengatakan kata-kata kotor kepada Bunda? Berapakah orang yang meragukan kehadiran Bunda dalam penampakan-penampakan untuk mengingatkan umat manusia akan perlunya pertobatan? Berapakah yang melontarkan kata-kata keji kepada Bunda sebagai iblis dan roh jahat? Berapa orangkah yang menyebut dirinya putra-putriku tapi relah menjual imannya dan berbalik menghina Bunda sebagai sebuah penyembahan berhala? Berapa orangkah yang menyebut dirinya putra-putri Bunda tapi hanya karena mau bertoleransi dengan orang lain, hanya demi nama baik mereka, telah membiarkan Bunda dicelah, dicercah dan dimaki dengan kata-kata kotor?  Sayangnya, saudara dan aku sebagai putra-putri Maria terlalu lembut dan baik hati untuk tidak membela nama Bunda di hadapan para pencela. “Sungguh, Bunda tercabik di depan mata putra-putirnya sendiri.”

Mendengar semua keluhan itu, hatiku begitu sedih…sebuah kesedihan yang begitu mendalam karena telah melukai hati Bunda spiritualku dengan kata dan tindakanku. Tiba-tiba langkah kakiku semakin mendekat pintu gerang tempat kostku, dan sebelum membukanya aku hanya berujar; Bunda, kalau minggu lalu ketika di Vietnam engkau membisikan di hatiku bahwa “bahkan dijual pun aku rela asalkan imamu dan iman mereka yang memandangku semakin dikuatkan,” maka jangan pernah mengatakan kepadaku kalimat yang berikut ini;“Demi imanmu, demi relasimu dengan sesamamu manusia dan demi hidupmu aku rela untuk dihina, dicercah dan dimaki oleh mereka yang membenciku dan menolakku.” Sunggu, Bunda…aku tidak akan menerimanya. Aku akan menantang siapa saja yang mencelahmu lewat cara apa pun yang aku bisa buat. Tentunya menghindari kata-kata kotor dan kasar...apalagi tindakan jahat...hehehe...kan seorang romo jadi musti sopan karena menjadi panutan banyak orang.  Akan tetapi jika cara pembelaanku dinilai dan dicap jahat, sombong, keterlaluan, bahkan apa pun aku rela terima, hanya satu yang tidak kuinginkan adalah mereka menghinamu dan mengatakan kata-kata kotor dan keji kepadamu lagi. Jika mereka tidak percaya kepadamu kenapa mereka tidak berdiam saja melihat kemesraan kita sebagai seorang bunda dan putra? Bunda, untuk yang satu ini, aku tidak akan diam sebelum mereka berdiam diri. Bunda, mungkin putra-putrimu yang lain akan bersikap diam dan mendoakan mereka yang mencelahmu tapi tidak untukku saat ini. Maafkanlah aku Bunda bila aku mengungkapkan rasa cintaku kepamu melalui cara yang salah. Maafkanlah aku bila aku keras kepala dan tegar hati untuk tidak menaatimu untuk yang satu ini. Aku hanya berharap kiranya suatu saat engkau mau mendidikku menjadi putramu yang mempunyai hati yang lembut, tabah dan rela memaafkan seperti hatimu, Bunda. Maaf dan doakanlah aku selalu, ya Bunda.



Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,


***Duc in Altum***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Follow Us