Kamis, 07 Juli 2011

RENUNGAN MALAM: "SAPU IJUK SANG BOCAH"


Seuntai kata untuk sahabat,

Berhubung karena aku harus ke chapel di Greenbelt untuk melayani para peniten yang datang mengaku dosa sampai sekitar jam 9 malam, maka alangkah baiknya kuhadirkan "renungan malam" lebih awal bagimu.


...

Langkah gemulai gadis-gadis muda tak dihiraukan, derap sepatu sang pemuda tampan tak digubrisnya, tangannya tetap memegang erat sapu ijuk itu sambil membersikan kotoran plastik dan kertas yang berserahkan di halaman depan rumahnya.


Setelah keluar dari gerbang kereta api aku berjalan menyusuri lorong padat yang dilalui ratusan mahasiswa/i dalam sehari dan ribuan dalam sepekan menuju kampusku, Universitas Santo Tomas - Manila. Berjalan di antara gadis-gadis muda yang melenggang  gemulai menggoda dengan bau parfum yang menyengat, di antara para pemuda tampan yang berbadan kekar bagaikan pangeran-pangeran muda yang berjalan pagi mengelilingi istana, tiba-tiba mataku berhenti pada sesosok tubuh yang sibuk menyapu halaman rumah di depanku. Dia adalah bocak cilik yang kira-kira berumur 4 tahun. Dengan bertelanjang badan, ia tak menghiraukan para perjaka dan perawan muda yang memperhatikannya. Ia terus mengayunkan tanganya, menggerakan sapu ijuknya untuk menggapai setiap kotoran yang terlihat mata. Semakin dekat, aku semakin merasa penasaran untuk mendekati sang bocah cilik itu. Ada satu hal aneh terjadi bahwa gadis-gadis perawan dan perjaka-perjaka muda itu menghindar dari sapuan sang bocah dengan sapu ijuknya. Merasa heran dengan situasi tersebut, aku memberanikan diri untuk semakin mendekat tempat sang bocah. Ternyata, ada genangan air di sekitar sang bocah sehingga ketika sapu ijuk menyentuh dan menyemprotkan air mengikuti arah ayunan tangannya, terpaksa para pengguna jalan menghindar agar pakaian mereka tidak kotor terkena aksi sang bocah.


Menjadi sesuatu yang pasti bahwa sang bocah melakukan pekerjaan menyapu di pagi tadi bukan karena ia mendapatkan tugas dari ibunya, bukan juga karena ia  ingin menonjolkan diri kepada anak-anak lain bahwa ia rajin tetapi mungkin hanya sebuah kebetulan bahwa ketika bangun ia melihat sapu ijuk itu, dan inilah kesempatan untuk bermain. Hal yang lebih penting dari semuanya itu, sang bocah menyapu halaman rumahnya karena hanya terdorong oleh keinginan untuk bermain, dan ini didorong oleh kepolosan dan kejujuran hatinya sebagai seorang bocah.


Sepanjang perjalanan menuju kampus, aku mencoba bertanya apa makna tindakan sang bocah ini? Ini adalah sebuah pelajaran berharga di masa prapaskah ini. Membersihkan halaman rumah bagaikan sebuah undangan bagi setiap orang yang lalu lalang di sana agar menyadari akan makna masa ini. Ini adalah sebuah tindakan simbolis untuk membersihkan hati, demikian ide yang muncul dalam benakku ketika aku memasuki ruang kuliah. Selama perkuliahan dua jam pertama, aku tidak berkonsentrasi penuh pada kata-kata profesorku. Mata boleh memandang, telinga bisa mendengar tapi hatiku selalu menggerakkan tanganku untuk menuliskan refleksi ini untukmu, sahabatku. Apa yang terlintas dalam pikiranku bahwa yang pasti si bocah itu tak pernah mengotori halaman rumahnya, tapi kenapa ia membersihkannya tanpa sebuah pengeluhan? Apa yang sementara diperbuatnya bukan hanya sekedar sebuah permainan tapi sebuah tindakan pembersihan di mana orang lain akan melewati jalan itu dalam keadaan bersih. Bagaimana dengan saudara dan saya? Apakah kita berani dan rela membersihkan hati dan pikiran kita? Ataukah kita hanya tahu mengotori tapi tidak tahu cara membersihkannya? Kalau halaman hati kita saja, kita tidak memiliki kemauan untuk membersihkannya, bagaimana kita dapat membersihkan halaman hati dan pikiran orang lain? Kalaupun kita rela dan mau membersihkan hati dan pikiran orang lain, tapi pertanyaannya: "Apakah orang lain percaya pada cara membersihkan yang kita lakukan? Sang bocah memberi pelajaran bahwa tindakan pembersihan harus dilakukan dengan kejujuran dan kepolosan, maka orang akan mempercayakan halaman rumah hati dan pikirannya untuk dibersihkan oleh saudara dan saya.


Kuliah dua jam telah berakhir tanpa aku tahu apa yang bisa tersimpan dalam pikiranku sebagai pengetahuan, tapi ada yang pasti tersimpan di sana bahwa bayang-bayang si bocah dan sapu ijuknya tetap membekas. Teman-teman lain sudah keluar meninggalkan ruang kuliah tapi aku masih duduk termenung dengan pena di tanganku. Aku berkata: "Walaupun si bocah telah berhenti membersihkan halaman rumahnya, tapi ia telah memberikan sebuah pelajaran berharga bagiku di pagi ini. Kita harus tetap mengayungkan niat untuk membersihkan diri, hati dan pikiran kita dari dosa di masa yang penuh rahmat ini. Kejujuran dan kepolosan sang bocah hendaklah juga menjadi dasar bagi sikap pembersihan dan pertobatan kita. Seperti sang bocah tak pernah melakukan pekerjaan itu sebagai suatu tindakan menonjolkan diri, maka pertobatan kita juga hendaknya tidak berujung pada kesombongan dan keangkuhan melainkan lahir dari sebuah hati yang jujur demi mendapatkan kembali cinta Tuhan. Aku hanya berharap semoga sapu ijuk tetap tergenggam di tangan si bocah untuk membersihkan halamannya agar setiap hati bisa tersentuh dan setiap mata bisa tersadar untuk selalu membersihkan hidup, hati dan pikiran setiap hari. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa kalau si bocah saja mampu membersihkan halaman rumahnya dengan sapu ijuk yang lebih besar dari tubuhnya itu, bagaimana dengan aku yang mempunyai hati dan pikiran seorang dewasa? Tidak mampukah aku sendiri membersihkan halaman rumah jiwaku? Apakah aku harus menunggu bantuan si bocah itu untuk membersihkannya? Oh, tidak Tuhan! Berikanlah aku kesempatan lagi dan lagi, maka rumah jiwaku akan kupersiapkan sebagai tempat tinggal-Mu. Demikian pintaku mengakhiri permenunganku di pagi ini.


Aku hanya berharap semoga tulisan pendek ini bisa memberikan inspirasi bagimu agar kita bersama-sama bersatu dalam sebuah tindakan perubahan, pembaharuan dan pertobatan diri yang jujur menyongsong hari kebangkitan-Nya.


Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,

Rinnong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Follow Us