Kamis, 07 Juli 2011

RENUNGAN MALAM: "BAHKAN DIJUAL PUN AKU RELA""


Sapaan seorang sahabat untuk para sahabat,

 1). Setengah hari ini bahkan baru saja selesai membalas komentar seorang saudara Protestan dalam diskusi panjang dengan teman-teman di group BUNDA MARIA. Rupanya dari sejak semalam tapi aku baru ikut diskusinya tadi siang sampai malam ini. Semunya demi Bunda walaupun aku sadar bahwa Bunda tidak membutuh...kan pembelaan manusia atas kebenaran bahwa dialah Bunda Allah. Banyak orang memanggil Yesus; Anak Allah bahkan Allah tapi menolak menyebut Maria sebagai Bunda Allah. 


2). Dalam posting malam minggu aku menyebut sepenggal syair lagu lama dalam buku nyanyian Gereja Katolik Indonesia “Maria Bintang Laut.” Tapi, banyak orang muda dan sebagian orang tua tidak pernah tahu akan  lagu indah itu. Karena itu, aku ingin bernyanyi bersama, atau setidak-tidak merenungkan akan syairnya sebelum bermenung bersama Bunda Maria dari Vietnam.

MARIA BINTANG LAUT… TERANG DAN CEMERLANG
KUA BUNDA DAN TELADAN…PENUNJUK HALUAN.

SALAM MARIA…….SALAM MARIA…
KAU MENJADI TELADAN…KAU MENJADI PELINDUNG
KAU BUNDA KAMI…MARIA…

  1. Karena itu, tulisan ini kupersembahkan kepada Bundaku termanis Maria. Engkau tetaplah Bundaku. Ingatlah akan doa jelekku; “Biarlah mereka ragu akan kebundaanku agar aku bebas menjadi putramu.”



“BAHKAN DIJUAL PUN AKU RELA”


“Di hutan itu,
Bunda berdiri dengan jubah putihnya sambil membuka kedua tangannya
seakan mengundang  mereka yang melewatinya dengan berkata;
“Lihat dan datanglah! Akulah Bundamu.”


Memasuki areal air terjun yang disebut “DAMB’RI” dengan waktu normal dari paroki  tempat kami tinggal sekitar 3 jam, kami diberi tiket VIP karena kenalan orang Katolik dari romo paroki yang bekerja di situ. Seorang gadis muda nan cantik ditugaskan untuk menemani kami selama kunjunga itu. Sebelum menikmati air terjun nan indah itu kami disuguhi teh tanpa gula yang nikmat. Maklum lokasi itu dikelilingi perkebunan teh dan kopi yang hijau permai di pandang mata.

Dengan kendaraan listrik yang bisa ditumpangi dua orang kami pun meluncur ke lokasi air terjun pertama. Setelah turun dari kendaraan itu, terlihat sebuah patung Bunda Maria berdiri megah di hutan itu yang jaraknya sekitar 50 meter dari tempat pemberhentian kendaraan listrik. Langsung saja saya menghampiri teman romo Vietnam itu dan bertanya; “Negaramu kan komunis, bagaimana mungkin pemerintah mengizinkan simbol-simbol rohani/keagamaan ada di tempat umum seperti ini?” Sedikit gusar karena selalu merepotkan beliau dengan pertanyaan-pertanyaanku, teman romo Vietnam itu pun menjawab; “Inno, ubahlah cara berpikirmu. Tidak ada yang mustahi bagi Allah. Kami sungguh percaya kepada-Nya,  dan Ia dapat menyediakan segala sesuatu yang kami butuhkan di sini, di negara kami yang kamu selalu sebut komunis itu.” Mendengar jawaban yang luar biasa itu, aku pun diam membisu tanpa berani mengajukan lagi pertanyaan lain selama perjalanan hari itu selain merenungkan tentang kata-katanya. Ia, lalu menambahkan; Patung Maria itu berdiri di sana bukan karena mereka percaya (harap suatu waktu mereka pun percaya) tapi itu adalah permintaan umat Katolik kepada pemerintah komunis dengan alasan untuk menarik minat para tourist Katolik dari manca negara. Memandang Bunda yang berdiri dengan tenang nan agung seakan Bunda memberi jawaban sekejab kepadaku; “Putraku, bahkan untuk dijual pun aku rela, asalkan imanmu dan imam mereka yang datang ke sini semakin diperkuat ketika mereka memandangku.” Bisikan kata-kata ini sungguh nyata ketika mata dan hatiku kuarahkan kepada Bunda dalam keharuan yang dalam. Sungguh, engkau di sana sebagai patung yang tak dapat bergerak tapi dari diammu engkau mau berbicara banyak kepada hati yang mau mendengarkanmu dan memanggilmu sebagai Bunda.

Setelah menyaksikan keagungan Tuhan lewat air terjun kedua yang sungguh mengagumkan itu, kami pun  meninggalkan tempat itu menuju kota. Berhubung karena hari cerah maka aku tak bisa menutup mata sambil memandang kiri-kanan jalan sepanjang perjalanan melewati kota, desa, bukit dan lembah. Tiba-tiba, teman romo Vietnam meminta kami untuk bersiap diri mengunjungi lagi sebuah patung Maria yang berdiri megah di pinggiran jalan terjal yang memotong gunung itu. Cerita singkatnya seperti ini; Dulu, banyak orang meninggal di jalan itu dengan kendaraan mereka. Umat Katolik bereaksi cepat terhadap keadaan itu dengan cara meminta izin kepada pemerintahan komunis untuk mendirikan lagi sebuah patung Maria di tempat itu sehingga setiap pengguna jalan boleh berhenti sejenak di tempat angker itu untuk memohon pertolongan dan penemanan Bunda dalam perjalanan mereka. Kami pun berhenti sejenak di situ dan membeli lilin untuk membakar di hadapan Bunda, tapi yang disediakan adalah alat bakar Cina ketika berdoa…apa nama alat seperti kembang api itu?…hehhehe…dasar kuper (kurang pergaulan) sehingga nama alat itu pun tidak tahu. Kami membakarnya dan menaruhnya di tempat yang telah disediakan oleh petugas dari paroki yang menjaga tempat itu. Patungnya lebih besar dan penuh bercahaya dalam tatapan matanya. Penampilannya kelihatan seperti sebuah patung baru, tapi menurut teman romo Vietnam itu, Bunda telah berdiri di sana lebih dari seratus tahun. Entahkah yang dimaksud tempat itu atau juga patungnya tapi saya tidak mau bertanya lagi karena takut beliau bosan dengan pertanyaan-pertanyaanku. Aku pun tidak pusing akan jawabannya karena bagiku bertemu Bunda di tempat yang sunyi itu saja sudah cukup menguatkan iman dan hatiku.

Perjalanan pun kami lanjutkan ke pusat kota dengan melintasi rumah-rumah penduduk yang indah dan kokoh.  Menjadi menarik juga karena terhitung setelah patung Bunda di pegunungan itu, masih ada lagi sekitar 5 tempat penghormatan Bunda di sepanjang jalan itu. Mereka membuat seperti gua Maria, tetapi modelnya lain karena mereka membangun sebuah rumah kecil yang sedikit tinggi sekitar 10 meter dan mentahtakan Bunda di sana. Di rumah-rumah penduduk sepanjang jalan itu, biasanya di lantai atas rumah bagian luar berdiri megah patung Bunda dengan berbagai ukuran, yang ketika dipandang sungguh menjadi kekuatan bagi jiwa di negeri komunis Vietnam. Demikian pun, hari terakhir ketika kami mengunjungi gereja Katedral “Our Lady” Saigon di pusat kota, nampaklah di sana Bunda berdiri megah di depan katedral yang dikunjungi oleh ratusan tourist dalam sehari itu.

Setelah kembali ke kamar aku berdiam sejenak dan berpikir tentang Bunda Maria yang kujumpai selama perjalanan hari ini. Pikiran dan hatiku melayang jauh ke Laurdes, ke Guadalupe, ke Meljourge, ke bukti Karmel, ke semua tempat yang pernah dikunjungi Bunda. Berpikir tentang bagaimana runtuhnya komunis Rusia dan Polandia dengan latar belakang penampakan dan pesan-pesan Bunda di Fatima. Aku pun berpikir bahwa pasti Tuhan mempunyai rencana indah dengan perantaraan Sang Bunda di negeri komunis Vietnam suatu waktu. Aku pun bermimpi dan bila mimpi ini tak mungkin maka aku hanya berdoa, “semoga suatu saat Bunda melawat negeri ini seperti yang telah ia buat kepada banyak orang di berbagai negara, khususnya runtuhnya komunis Rusia dengan perantaraan Bunda. Bukan hanya Vietnam, tapi juga di Myanmar, Korea Utara dan Cina kusebut dalam doaku. Rasa ngantuk karena kecapaian akhirnya menghantarku dalam tidur yang damai dalam pelukan sang Bunda sampai keesokan harinya.Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,

 ***Duc in Altum***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Follow Us