Seuntai kata mengetuk hati:
Rasanya tidak bijak bila saya merebut hati dan pikiranmu malam ini untuk merenungkan sesuatu yang lain, walaupun saya telah menyiapkan sebuah tulisan pendek untukmu.
...
Dalam duka dan nestapa hati karena bencana yang merebut nyawa saudara-saudari kita di Jepang, saya hanya datang kepadamu sebagai seorang saudara dan membisikkan seuntai kalimat pendek ini; “Tubuh Yesus hilang di salib di yang selalu tergantung di ujung kalung di depan meja laptokku.” Kucari dan bertanya kepada salib itu, tapi ia hanya diam membisu. Aku tahu bahwa ia pun tidak tahu kemana Tubuh itu menghilang darinya. Maukah saudara menunjukkan kepadaku di mana Tubuh itu? Tolong kawan, aku sedang mencari-Nya. Apa artinya salibku tanpa Tubuh itu? Apa artinya tatapan mataku jika tak terbalas oleh tatapan penuh kuasa Tubuh itu?
Hari ini adalah hari puasa dan pantang bagi mereka yang melakukannya, dan rasanya setiap hati yang datang mengikuti ibadat jalan salib merenungkan tentang sengsara Tuhan yang dasyat itu. Ketika telinga mendengar untaian kata-kata indah yang tersusun dari stasi ke stasi yang lain, ketika mata memandang gambar-gambar-Nya, dan ketika hati merenung derita-Nya, maka yang ada hanya sebuah penyesalan karena dosa-dosa kita, yang bukan menyebabkan Dia tersalib, tetapi yang membuat Dia tersalib lagi. Dosa-dosa kita yang tidak membuat Dia terluka tapi yang menyebabkan Dia terluka lagi. Akhirnya, kita pun bertanya; “Apa makna derita-Nya bagiku?
Inilah yang ingin kukatakan kepadamu malam ini agar puasamu hari ini bertepi, agar pantangmu bermuara, dan terlebih agar permenunganmu hari ini mendapatkan mahkota. Mau tahu kemana Tubuh yang hilang dari ujung kalung pemberian temanku itu? Ia datang kepadaku dan membisikan ini; “Sahabatku, mau tahu di mana Aku berada saat ini? Aku sekarang berada di Jepang, dalam wajah-wajah yang menderita. Aku berada dalam wajah-wajah yang ketakutan. Aku berada dalam wajah-wajah yang terluka. Aku ada dalam wajah-wajah yang terbunuh. Aku sangat menderita saat ini.” Lalu, aku bertanya kepada-Nya; “Bagaimana aku dapat membawa-Mu kembali ke salib kecil di ujung kalungku? Ia membalasku; “Biarlah Aku berada di sana agar menjadi undangan bagi setiap orang untuk membantu mereka.” Biarlah Aku di sana agar cintamu mendapatkan makna. Biarlah Aku di sana agar puasamu bertepi, agar pantangmu bermuara, dan terlebih agar permenunganmu tentang derita-Ku hari ini tidak mengambang ke langit yang jauh tak bertepi tapi mendarat di bumi di mana kakimu berpijak.
Ia pun melanjutkan; “Jika engkau ingin agar puasa, pantang dan permenungamu bermakna hari ini, terutama di hari-harimu selama masa prapaskah ini, maka bukalah matamu dan hatimu untuk merenungkan tentang derita-Ku di dalam derita mereka. Jangan pernah bertanya siapa mereka, atau apa agama mereka, karena ketika Aku datang untuk menyelamatkan engkau, Aku pun tidak pernah bertanya dari mana engkau, atau apa yang engkau telah lakukan sebagai kebaikanmu sehingga aku harus membalasnya kepadamu lewat derita dan kematian-Ku. Jika hari ini, mereka menderita maka itulah undangan dari-Ku untukmu agar engkau melatih hati untuk bercinta kasih. Mungkin dan pasti engkau tidak bisa membantu memberi sedekah kepada mereka, tapi doa-doamu malam ini dan seterusnya akan meringangkan derita-Ku di dalam mereka. Aku pun berkata; Oke, aku akan berdoa untuk mereka, tapi berjanjilah padaku agar engkau akan kembali ke salib kecil di ujung kalung pemberian temanku.
Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,
Rinnong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar