Kamis, 07 Juli 2011

RENUNGAN MALAM: "DIA PUN DIUNDANG"


Sapaan seorang sahabat untuk para sahabat,

Berbicara tentang soal pantas tidaknya seseorang datang ke Gereja, apalagi untuk menyambut“Komuni Kudus” pasti menjadi diskusi hangat; Sebagian menuntut kelayakan berpakaian, yang lain mengutamakan hati si penerima; yang lain lagi mempertahankan aspek kesopanan, yang lain mendukung penampilan apa adanya.... Apa lagi ya? Lupa...biarin aja!

Terlepas dari itu, kisah “Dia pun Diundang” yang akan kita renungkan malam ini bisa mewakili banyak orang kecil yang mempunyai kerinduan akan kehadiran Tuhan dalam hidup mereka.



“DIA PUN DIUNDANG”


“Hosti di ujung ibu jari kanan dan telunjuk itu hampir saja tidak kulepas dalam genggamannya, jika saja tidak kudengar Suara lembut itu menyuruhku.”


Misa di kapel kecil itu berlangsung seperti biasanya sampai pada saat penerimaan komuni. Berhubung karena cuma sekitar 40 orang maka dengan mudah dan cepat komuni bisa dibagikan kepada mereka; ada yang menyambut dengan kedua tangan yang terbuka lebar tapi yang satu di atas yang lain; yang lain dengan cuma sebuah tangan, kanan atau kiri yang diulurkan ke depan namun sedikit ragu-ragu sehingga kadang aku sendiri pun bingung meletakkan langsung ke mulut atau tangannya; sedangkan yang lain cukup membuka mulutnya dan hosti itu diletakkan dengan indah ke dalamnya. (Walaupun kadang lucu karena sebagian besar adalah orang tua sehingga ketika membuka mulut terlihat jelas jendela bahkan jalan tolnya...alias ompong...hehehe...canda aja. Tapi ini pikiran di saat menulis bukan di saat memberi komuni loq.)

Pemberian komunis hampir selesai, tiba-tiba datanglah seorang pengemis yang pasti tidak mandi, pakainnya compang camping, bau badan lumayan menyengat hidung (Aku ingat betul bahwa pengemis ini selalu duduk di pinggir jalan masuk ke kapel itu). Ketika tiba gilirannya, ia pun membuka kedua tangannya. Kebiasaanku ketika memberi hosti adalah mengangkat hosti sedikit ke atas (tidak langsung meletakkannya ke dalam tangan atau mulut mereka yang menerima) sesaat setelah aku mengatakan: Tubuh Kristus...dan si penerima memandang hosti itu lalu menjawab;Amin, barulah hosti yang kuangkat itu kuturunkan dan masukan ke dalam mulut  atau tangan si penerima. (Maaf, dulu di Ambon kepada anak-anak bahkan kepada orang tua yang tidak menjawab amin dengan jelas maka hosti tetap kuangkat di hadapanya sampai kata amin kudengar barulah hosti bisa diterimakan kepadanya) Ingat lagi pesan mamaku; “Kalau ada orang memberi sesuatu atau membantumu maka selalu ucapkanlah terima kasih.” Bukankah “amin”mu juga menjadi ucapan terima kasih dan pengakuan terhadap kehadiran Yesus di dalam jiwamu?Kepada si pengemis yang datang untuk menerima Komuni saat itu, aku pun mengangkat Hosti kudus sedikit ke atas di hadapannya. Ia sama sekali tidak mengatakan kata amin, apalagi penampilannya yang sungguh tidak sopan menurut kita yang sopan atau setidak-tidaknya selalu menuntut kesopanan dari orang lain, seakan membuatku untuk menahan Hosti itu dan tidak memberikan kepadanya, tetapi suara ini begitu lembut di hatiku; “Inno, ia pun diundang ke pesta-Ku.” Akhirnya, Hosti kudus itu pun kulepaskan ke dalam tangan si pengemis yang terbuka. Ia menerimanya dengan gaya membungkuk dan pulang ke tempat duduknya di luar kapel kecil itu.

Perayaan Ekaristi boleh berakhir tapi kata-kata lembut tadi cukup membuatku berpikir tentang makna Ekaristi bagi jiwamu, jiwaku dan jiwa kita. Sungguh, perayaan Ekaristi adalah pestanya Tuhan Yesus sendiri. Dialah tuan pesta kudus itu dan saudara dan aku hanyalah pelayan dan tamu di pesta Tuhan itu. Apa artinya seorang pelayan jika tuan pesta telah mengundang setiap orang untuk datang ke pestanya? Bila setiap orang telah diundang maka hendaknya pelayan memberi makanan dan minuman kepada semua tamu secara sama tanpa membeda-bedakan. Mungkin bagi manusia yang adalah tuan pesta maka ada tamu istimewa (kelas VIP) dan yang lain kelas ekonomi, namun bila engkau menyadari hakekat Ekaristi di mana Tubuh dan Darah Tuhan dibagikan di antara kita maka semua tamu mempunyai tempat  yang sama di Hati Tuhan tanpa memperhitungkan jabatan, status, kaya atau miskin. Bukankah itulah yang terjadi ketika Levi, si pemungut cukai mengadakan pesta, mengundang Yesus dan banyak orang berdosa duduk makan bersama-Nya? Bukankah Yesus tidak pernah bertanya tentang siapa mereka atau apa dosa-dosa mereka? Sebaliknya Ia larut dalam kegembiraan surgawi karena bukan cuma satu tapi ratusan orang berdosa bisa duduk makan bersama-Nya? Sungguh, jika kita menyadari hakekat Ekaristi maka kita akan mengatakan kepada saudara kita yang miskin, papa dan para pengemis; “Kawan, ini pestamu juga. Mari, dan ambillah bagianmu!” (Maaf, aku sama sekali tidak mengajarimu untuk menyepelekan hakikat Ekaristi dengan berpenampilan yang aneh-aneh, tapi bila Anda sungguh menyadari bahwa Ekaristi adalah pesta perjamuan Tubuh dan Darah Tuhan maka penghormatan yang layak hendak diberikan saat Anda mengikutinya, apalagi ketika Anda menerima-Nya). Cerita si pengemis  adalah sebuah kisah yang membuat kita sadar akan makna Ekaristi dan bukan pada tuntutan berpakaian pada mereka yang memang hanya bisa bernampilan seperti itu. Karena bila Anda memperhatikan maka yang berada dan berpunya seperti saudara dan aku semakin tidak mau berpakain utuh sementara yang tidak berpunya, seperti pengemis walaupun pakaiannya kotor dan kumal tapi setidaknya ia tidak menunjukkan bagian-bagian tertentu dari tubuhnya yang memang sebaiknya ditutup dengan kain; entahkah dengan baju atau celana yang utuh dan bukannya yang “kurang kain” atau “lupa menambahkan kain” Maaf... bila candanya kelewatan.

Dengan demikian, jika malam ini Anda membaca kisah “Dia pun Diundang” maka semoga ini pun menjadi kerinduan bagi jiwamu setiap saat karena Tuhan sesungguhnya memberikan undangan kepada setiap orang setidak-tidaknya pada setiap hari minggu. Akan tetapi, bukankah kita sendiri yang menolak untuk hadir karena ada yang piknik ke pantai lebih penting; yang lain ikut pertemuan dengan teman-teman lebih mengasyikan; dan yang lain lagi lebih enak tidur karena nikmatnya malam minggu? Maka benarlah apa yang dirumuskan oleh Bunda Gereja bahwa“Mujizat terbesar dari Yesus adalah Ekaristi.” Mengapa? Karena kalau dalam mujizat yang lain Yesus menggunakan bahan lain di luar Tubuh-Nya maka Ekaristi menjadi special, teragung dan termulia karena Ia memberikan Tubuh dan Darah-Nya sendiri kepada semua tamu dalam porsi yang sama. Bukankah air dan anggur yang fana itu telah menjadi Tubuh dan Darah Kristus bukan karena para imam tapi hanya karena Yesus sendirilah yang mengubahnya? Karena itu, temanku pernah mengatakan kepadaku; “Kawan, aku tidak akan pindah ke agama lain apa pun yang alasannya karena hanya dalam Gereja Katoliklah aku dapat menyantap Tubuh dan Darah Tuhan secara nyata setiap saat mengikuti perayaan Ekaristi.”

Masih mau lanjut berkata-kata tentang makna Ekaristi tapi baiklah cukup dulu untuk renungan kita malam ini. Pasti Tuhan punya cara untuk menjelaskan mengapa Ekaristi itu penting demi jiwamu, jiwaku dan jiwa kita. Nantikan saja kisah lanjutnya karena aku selalu yakin bahwa Tuhan sendirilah yang selalu membuatku untuk bisa menulis kehendakNya kepadamu setiap saat. 


Salam seorang sahabat untuk para sahabat,

***Duc in Altum***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Follow Us