Kamis, 07 Juli 2011

RENUNGAN MALAM: "PELUKAN HANGAT SEORANG AYAH"


Sapaan seorang sahabat untuk para sahabat,

Melanjutkan kisah perjalanan ke negara komunis Vietnam, saya menghadirkan lagi sebuah kisah kecil ini sebagai bahan bacaan bagimu malam ini.


... “PELUKAN HANGAT SEORANG AYAH"


“Satu per satu kami dipeluk erat olehnya, dan sambil menitipkan air mata keharuan ia berkata; “Sungguh, aku tak mampu mengerti mengapa pertemuan hari ini terjadi di antara kita.
Namun, bila aku jujur mengatakan sesuatu maka aku hanya mau katakana bahwa Tuhan itu sungguh luar biasa dan karyanya sungguh nyata dalam Gereja Katolik.”


                Pelukan seorang ayah selalu mendatangkan kehangatan dan rasa nyaman yang luar biasa di dalam hati. Demikianlah apa yang kami rasakan dalam kunjungan kepada ayah dan saudara-saudari dari teman romo Vietnam. Perjalanan hampir 2 jam dari pusat paroki ke desa kecil itu sungguh berkesan dan mengingatkan kami semua akan kasih sayang ayah kami masing-masing. Betapa tidak, ketika kami memasuki rumah itu, sang ayah menyalami kami satu per satu dengan pelukan erat nan mesra. Sesaat teringat akan kisah putra bungsu yang kembali ke rumah bapa setelah memboroskan harta milik bagiannya. Ayahnya berlari mendapatkan dia, memeluk dan menciumnya dan bahkan membuat pesta besar menyambut kembalinya si bungsu ke dalam rumah ayah yang berkelimpahan itu (Luk 15:11-32). Dengan bantuan teman romo Vietnam kami bisa mengerti bahasa yang dipakai oleh ayahnya yang merasakan kegembiraan menyambut kami layaknya anak-anaknya sendiri.

                Acara pun dilanjutkan dengan menyantap hidangan siang yang telah disediakan oleh saudara perempuan teman romo Vietnam. Wow, daging ayam, babi dan sapi yang langsung dimasak di atas meja dengan sayuran hijau ala Vietnam sungguh membuat selera makan siang itu berlipat ganda, apalagi diiringi alunan music dan sesekali tangan meraih minuman keras ala Vietnam dari bahan beras, serta  beer heikenen lalu meneguknya sungguh membuat siang itu menjadi pesta sang ayah dan anak-anaknya.

                Ayah teman kami sudah berumur 72 tahun tapi masih kelihatan kuat dan segar wajah dan penampilannya. Kembali ia meminta kami untuk diam sejenak sambil memberi nasehat layaknya seorang ayah kepada anak-anaknya; Para romo, aku ini hanyalah seorang manusia sederhana yang tidak tahu keramaian dunia luar. Duniaku adalah kebun, rumah dan gereja (Beliau adalah mantan katekis). Aku tahu bahwa Gereja Katolik itu sangat besar dan selama ini hanya menonton lewat televisi kalau pun itu ada karena control pemerintah komunis yang ketat terhadap perkembangan iman. Ia lalu mengisahkan bahwa anaknya (romo teman kami yang dari Vietnam ini) setelah menamatkan pendidikan sebagai sarjana hukum, ia pun tertarik untuk menjadi seorang romo. Sebagai seorang ayah tentunya aku sangat bangga terhadap keinginan anakku. Akan tetapi, apa boleh buat, anakku ini harus menunggu sampai 10 tahun sebelum diizinkan untuk ditahbiskan menjadi seorang imam. (Sebagai catatan: Ada aturan dari pemerintah komunis Vietnam bahwa menjadi imam apalagi untuk ditahbiskan menjadi imam harus ada izin dari pemerintah. Setiap tahun uskup diosis mengajukan lamaran untuk mentahbiskan para diakon mereka menjadi imam, namun tahbisannya hanya bisa dilaksanakan bila ada izin resmi dari pihak pemerintah. Seperti teman kelas kami yang harus menunggu sampai 10 tahun sejak lamaran pertama, dan akhirnya diizinkan untuk ditahbiskan ketika beliau sudah berumur 40 tahun. Demikian pun pengiriman para romo dan suster ke luar negeri untuk melanjutkan sekolah harus melalui wawancara pihak pemerintah komunis, karena ini berhubungan dengan apa yang akan mereka perbuat setelah menyelesaikan sekolah. Pihak pemerintah komunislah yang memberi izin kepada seorang romo untuk bekerja di sebuah paroki atau tidak atas usulan uskup diosis. Bila ada yang keluar negeri untuk sekolah dan tidak melewati wawancara pihak pemerintah maka yang bersangkutan tidak diizinkan untuk kembali bekerja di Vietnam).  Ia, lalu menambahkan walaupun susah menjadi orang beragama di negara komunis seperti ini tapi aku tetap percaya bahwa Tuhan itu sungguh luar biasa dan ajaib, sehingga hari ini Ia mempertemukan kita sekalian di sini. Sungguh, sebuah peristiwa yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku tak bisa mengerti mengapa hari ini terjadi pertemuan seperti ini. Tuhan itu sungguh ajaib dan rencana-Nya  mulia adanya. Demikianlah ungkapan hati ayah teman kami itu sambil meneteskan air mata keharuan akan pengalaman pertemua hari ini. 

                Setelah beristirahat sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan ke rumah keuskupan dan seminari tinggi yang megah bagaikan hotel mewah. Nantikan kisah lanjutnya esok malam.


Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,

***Duc in Altum***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Follow Us