Kamis, 07 Juli 2011

RENUNGAN MALAM: "KUPASRAHKAN KE DALAM TANGANMU"


Sapaan seorang sahabat untuk para sahabat,

Sebuah lagu rohani yang biasanya suka kunyanyikan sewaktu kerusuhan di Ambon ialah “Kupasrahkan.” Izinkanlah aku menuliskan beberapa baitnya untukmu di sini sebagai pengantar tulisan pendek ini.


... Kupasrahan...ke tangan Tuhan….Dengan penuh kerendahan
Segala yang menimpah diriku…..Wujuh kasihku di tanganMu

Derita dan kecemasanku…Kubawa ke pangkuan-Mu
Kujadikan persembahan diri….Demi slamatku di tangan-Mu

Selamatkah atau untungkah…Kehidupan atau mati
Anugrahkan berkat-Mu Tuhan…Jawablah aku, ya Tuhan.


Tadi pagi saya mengikuti pengikraran kaul dari para suster yang 3 diantara mereka adalah anak bimbingan rohaniku. Ini adalah tarekat terbesar di Filipina yang anggotanya juga sebagian besar berasal dari Timor dan Flores. Dari kesembilan mereka yang mengikrarkan kaul itu terdapat 7 dari Indonesia dan cuma 2 dari Filipina. Sebuah perayaan indah disertai kotbah yang bersemangat dari uskup diosis Cubao – Quezon City, tempat di mana biara itu terletak. Uskup menyebut kalimat pendek nan indah ini; “Allah memanggilmu bukan hanya sebagai seorang pendengar tapi serentak sebagai pelaksana Sabda. Di zaman ini, hidup Anda menjadi sebuah tanda bahwa segalanya harus kalian pasrahkan kepada Dia Yang memanggilmu.”

Sejenak ingatanku melayang jauh ke negeri Vietnam, tempat kami  berkunjung seminggu yang lalu, khususnya kepada sosok teman kami, romo dari Vietnam itu. Apa pun yang dia lakukan tak pernah ia lupa untuk mohon perlindungan Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Segalanya dipasrahkan kepada Tuhan dan biarlah Tuhan mengaturnya sesuai dengan kehendak-Nya, seperti juga kata-kata Maria dalam bacaan Injil hari ini, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.”

Seperti pernah kukisahkan sebelumnya bahwa setiap pagi kami harus bangun jam 4 pagi untuk merayakan Ekaristi. Beliau dengan setia mengetuk pintu masing-masing untuk mempersiapkan diri. Ya, untuk kami, ini masa libur jadi biarlah hal-hal rutinitas sedikit dilonggarkan, tapi tidak untuk teman kami ini. Ketika kami mengeluh, ia cuma membalasnya; “Tuhan pun tak pernah berhenti untuk mencintaimu. Ia memanggilmu sebagai imam-Nya bukan hanya dalam waktu tertentu saja, tetapi untuk selamanya. Bayangkanlah jika Tuhan mempunya waktu libur? Bayangkanlah jika Tuhan mengatakan kepadamu; Maaf, hari ini aku tidak mau memperhatikanmu. Apa jadinya Anda?” Seorang teman romo Filipina membisikan kepadaku; “Kawan, kita sedang berhadapan dengan seorang calon martir.”Demikian pun sebelum kami berangkat dari tempat yang satu ke tempat yang lain, selalu saja beliau meminta salah seorang dari kami untuk memimpin doa mohon perlindungan Tuhan dalam perjalanan kami. Bahkan beliau membawa serta di dalam tasnya Brevir (buku doa harian), sehingga ibadah pagi, sore dan malam harus dipimpin bergiliran di antara kami, khususnya jika kami berada di dalam mobil. Seorang teman romo Filipina dan saya biasanya duduk di kursi belakang sehingga selalu memberi alasan bahwa nanti suara kami tidak didengar oleh yang duduk di depan….hehehe…malas kali, tapi memang terus terang tidak tidak mau direpotkan dengan urusan-urusan seperti itu. Akibatnya, ketiga teman yang duduk di kursi tengah; Satu dari Malaysia dan dua Filipino lainnya selalu mendapatkan giliran untuk membaca atau menyanyikan mazmur pagi, sore atau malam atas permintaan calon martir Vietnam ini.

Pelajaran penting dari sikap hidup teman romo Vietnam ini yakni beliau betul-betul menghayati imamatnya sebagai seorang utusan dari Yesus yang adalah sumber kekuatan imamat itu sendiri. Segalanya ia pasrahkan kepada Yesus yang memanggilnya, apa pun yang dihadapi selama hari itu. Ia betul-betul menjadi kudus sehingga mampu juga menguduskan umat yang dipercayakan kepadanya. Ini menjadi kritik tajam bagi kami, para romo lain yang selalu sangat yakin bahwa esok kami masih terus hidup, yang percaya bahwa segalanya akan beres dalam hidup di saat-saat selanjutnya. Sungguh, beliau mengajarkan bahwa kebanyakan umat akan menjadi kudus bila sang romonya sendiri kudus. Kita percaya bahwa Tuhanlah yang menguduskan umat, tetapi sikap dan tingka laku para romo/imam pun sangat berperan penting dalam proses kekudusan umat ini. Umat bisa belajar berpasrah bila melihat para romo/imamnya mempunyai iman yang luar biasa yang selalu berpasrah dan menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan. Umat akan datang ke tempat pengakuan setiap pagi jam 4 seperti di Vietnam bila mereka tahu bahwa romonya telah menanti mereka di sana. Umat akan rajin berdoa bila setiap saat ketika datang ke pastoran melihat para romonya mempunyai saat-saat khusus untuk berdoa. Dan, sebuah litany panjang bisa kita tambahkan di sini, tapi biarlah ini menjadi sebuah catatan kecil untuk kita renungkan bersama.

Saudaraku, dengan semua yang kutuliskan di atas saya tidak sedang mengajakmu untuk melihat kekurangan para romo di parokimu atau di mana pun mereka berada, melainkan kiranya Anda mau bersatu denganku untuk mendoakan para romo, siapa pun dia dan di mana pun mereka berada untuk selalu menjadi romo yang setia  dan kudus terhadap imamatnya. Mengapa? Karena apa yang kubuat dalam litany di atas hanyalah sikap acuh tak acuh dari beberapa romo saja, termasuk diriku, tetapi masih banyak juga romo lain di mana saja yang berlaku seperti teman romo Vietnam itu. Mohon, bawalah kami dalam doa-doamu, hai saudara-saudariku.

Mengakhiri tulisan pendek yang mungkin sudah terlalu panjang bagi sebagian orang ini, aku selalu suka untuk membaca kembali catatan harian Sta. Faustina, rasul kerahiman Ilahi; “Imam yang tak memiliki ketenangan, tidak akan mendatangkan ketenangan bagi jiwa yang meminta nasehat darinya. Hai para imam! Kamu seperti lilin yang bernyala, kamu yang harus memberi terang kepada jiwa, semoga cahayamu tak pernah suram!” Karena  itu, aku hanya memohon kepadamu; “Doakanlah  kami para romo selalu, umat Gereja Katolik tercinta.”


Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,


***Duc in Altum***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Follow Us