Kamis, 07 Juli 2011

RENUNGAN MALAM : “SURAT SEORANG SAHABAT”


Teman-teman sekalian,


Saya tidak mau mempersalahkan siapa-siapa atas kenyataan hidup seperti yang akan tertulis di bawah ini, pun tidak mempersalahkan teman-teman romo yang bekerja di kota-kota besar, yang bisa mengendarai mobil mewah dalam pelayanan sementara sebagian temannya di pedalaman harus berjalan kaki bahkan menerjang ombak; Saya tidak... mempersalahkan teman-teman yang bingung memilih restoran mana sebagai tempat makan malam sementara yang lain mungkin pusing mencari apa yang harus dimakan. Apa pun keadaan mereka dan siapa pun mereka, setiap imam dipanggil  untuk melayani umat di tempat yang berbeda-beda. Untuk melihat realitas sebagian romo di paroki pedalaman, saya edit kembali tulisan seorang teman, adik tahbisan saya dua tahun lalu dan kukirimkan kepadamu sebagai “Renungan Malam” ini.

 Pesan email ini ditulis dan dikirim kepada saya pada bulan Juni 2009 yang lalu ketika ia masih bertugas di sebuah paroki pedalaman di Maluku, tepatnya di kepulauan Sula – Taliabu, masih termasuk wilayah Maluku Utara. Saya membiarkan saja pesan emailnya tertulis dalam gaya bahasa aslinya (gaya bahasa Ambon) yang nanti saya beri sedikit penjelasan bila memang ada yang rumit untuk dimengerti oleh teman-teman lain.



Demikianlah pesannya lewat emailku:


Hai... kawan-kawan apa kabar? So lama nda ada brita ya? (sudah lama tidak ada berita) Kawan Inno bagaimana? Ada baek-baek to? Terima kasih ya, atas kiriman-kiriman emailnya yang sangat inspiratif. Makase juga untuk kawan Kostan atas kiriman emailnya. Email kalian saya selalu print dan taru (tempatkan) di papan info dan dibaca oleh umat. Refleksi teman-teman menjadi inspirasi bagi umat disini. Saya pernah bacakan kiriman email dari kawan ini tentang "antara needs dan value." Wah.. terpukaulah mereka itu. Umat juga tertarik dengan doa imam yang dikirm kawan Kostan dan juga foto-foto unik kalian. Kong... kor dang mana? (Lalu Kor bagaimana?). Thanks ya... nanti saya kirim foto orang kampong (umat pedalaman) di Taliabu untuk kalian tapi sebelumnya, nanti saya suruh mereka mandi dulu karna.. hahahaha bahaya skali. Bisa-bisa virusnya tembus ke Manila (Bagian ini melukiskan banyak orang di pedalaman yang menderita penyakit kulit sehingga baunya menyengat bila mendekati mereka) 


Kawan-kawan.. beta cuma pesan bahwa kalau dalam study ada pengalaman konsolasi, itu berarti rahmat dan anugerah Tuhan. Bersyukurlah bahwa Ia baik dan kekal abadi kasih setianya. Pun kalau ada pengalaman desolasi, anggaplah iman kawan-kawan sedang diuji. Bersyukur pula bahwa Anda boleh mengalaminya. Bukankah dengan itu, kalian akan lebih tegar? Cheeee.. beta kaya (seperti) penasehat  saja. Ok. kawan-kawan ... beta kirim refleksi kecil berikut ini untuk direnungkan ya?


Penderitaan atau pun kebahagiaan bagaikan bola-bola kehidupan yang harus kita mainkan dengan penuh ketangkasan. Saya teringat akan seorang penulis buku, Teha Sugio(biar di kampung mar ada babaca do ee = walaupun bekerja di kampong/pedalaman tapi masih sempat untuk membaca buku) yang mengatakan bahwa HIDUP ini bagai sebuah permainan ketangkasan dimana kita harus memainkan keseimbangan 5 bola yang dilempar ke udara.  Bola-bola tersebut bernama : Pekerjaan, keluarga, kesehatan, teman dan semangat. Pekerjaan hanyalah sebuah bola karet. Jika kita menjatuhkannya, maka ia akan dapat memantul kembali. Akan tetapi, empat bola lainnya, yakni keluarga, kesehatan, teman dan semangat terbuat dari gelas. Dan jika kita menjatuhkan salah satunya maka ia dapat terluka, tertandai, tergores, rusak dan bahkan hancur berkeping-keping. Dan pasti mereka tidak akan kembali seperti aslinya. Kita harus memahaminya benar dan berusaha keras menyeimbangkannya. Hemat saya, 4 bola lainnya kalau kita mainkan dengan tangkas, maka bukan mustahil kebahagiaan ada di tangan kita.


Sekarang kita bertanya bagaimana caranya?


Pertama, jangan merusak nilai cinta dengan membandingaknnya dengan orang lain. Perbedaan diciptakan agar membuat masing-masing kita special.

Kedua, jangan juga menganggap remeh sesuatu yang dekat di hati kita, melekatlah padanya seakan-akan ia adalah bagian yang membuat kita hidup. Tanpa dia hidup menjadi kurang berarti.

 Ketiga, jangan biarkan hidup kita terpuruk di masa lalu atau dalam mimpi masa depan. Hidup pada suatu waktu berarti hidup untuk seluruh waktu hidupmu. Jangan menyerah ketika masih ada sesuatu yang dapat kita berikan. Tidak ada yang benar atau kalah sampai ia berehenti berusaha.

Keempat, jangan takut mengakui bahwa diri kita tidaklah sempurna. Ketidaksempurnaan inilah yang merupakan sulaman benang rapuh untuk mengikat kita satu sama lain.

Kelima, jangan takut menghadapi resiko. Anggaplah resiko sebagai kesempatan kita untuk belajar bagaimana menjadi berani.

 Keenam, jangan berusaha untuk mengunci cinta dalam hidupmu dengan berkata:"Tidak mungkin saya temukan." Cara tercepat untuk kehilangan cinta  adalah dengan menggenggamnya sekuat mungkin. Dan cara terbaik untuk menjaga cinta agar tetap tumbuh adalah dengan memberinya "sayap."

 Ketujuh, jangan lupa bahwa kebutuhan emosi terbesar dari seseorang adalah kebutuhan untuk merasa dihargai.

 Kedepalapan, jangan takut untuk belajar sesuatu. Ilmu pengetahuan adalah harta karun  yang selalu dapat kita bawa kemana pun tanpa membebani.

Dan akhirnya kesembilan: Masa lalu adalah sejarah, masa depan merupakan misteri dan saat ini adalah karunia.


Kawan-kawan yang kurindukan,

Berpindah dari paroki yang serba berkecukupan ke paroki pedalaman sungguh menjadi sebuah kesempatan dan peluang bagiku untuk membuktikan diri sebagai seorang imam yang telah mengatakan “ya” kepada tawaran Yesus untuk menjadi imam-Nya (Meskipun secara manusia saya memberontak atas kenyataan seperti ini). Kalau di paroki lama saya bisa mendapatkan segalanya, maka di sini saya harus berjuang untuk mempertahankan hidup bukan hanya menyangkut imamat saya, tetapi agar saya bisa hidup sebagai seorang manusia biasa, yang harus menanam ubi-ubian, yang harus mencari uang , yang harus memancing di laut, dan semuanya serba mencari untuk bertahan hidup. Semuanya demi kehidupanku sebagai seorang manusia, yang adalah juga seorang imam. Syukur bila saya tinggal di pusat paroki, yang adalah pusat kecamatan. Dan, teman-teman bisa membayangkan bagaimana bentuknya pusat kota kecamatan di daerah pedalaman; Listrik cuma untuk malam hari, kebutuhan di took-toko yang serba terbatas, apalagi mencari hiburan lain? Hanyalah bintang dan bulan yang bisa kita pandang setiap malam.

Ada pengalaman menarik; Dalam sebuah tourney ke stasi pedalaman, saya membawa beras 25kg dengan memperhitungkan bahwa itu cukup untuk makananku dan kedua pendampingku dalam seminggu. Apa yang terjadi? Ketika kami sampai di sebuah stasi pendalaman, yang paling miskin, yang tidak pernah mengetahui apa itu listrik, apa itu televisi, apalagi hp dan eletronik lainnya? Sungguh sebuah realitas yang aneh tapi ada di tengah dunia yang semakin gemerlap ini. Karena ini kunjungan pertamaku, jadi aku kira akan disambut, disiapkan makanan dan minuman untukku sebagai romo yang akan melayani mereka. Pastoran sempit yang sudah tak terurus itu tidak memiliki segalanya; gelas dan piring tak ada, alat-alat tidur dan lainnya pun tak ada. Syukur bahwa kami telah membawanya dari pusat paroki. Karena tidak ada makanan dan minuman yang tersedia maka aku tahu bahwa aku dan kedua pendampingku harus menyiapkan sendiri makan malam kami. Kami lalu memasak ala kadarnya. Setelah makanan itu masak dan siap untuk disantap, saya sendiri heran bahwa sebagian orang desa itu tidak pulang ke rumah masing-masing. Saya lalu bertanya kepada ketua stasi itu, kenapa mereka tidak pulang ke rumah mereka? Jawaban polosnya sungguh membuat saya terharu dan menitikan air mata saat itu; Mereka ingin merasakan makanan asing yang romo sedang masak (nasi) Maklum sebagian besar dari mereka belum pernah merasakan enaknya makan nasi. Saya memerintahkan kedua pendampingku untuk menambah lagi beberapa kilo beras malam itu agar kami semua bisa menyantapnya. Kawan, ini hal biasa tapi bagi mereka adalah mujizat perbanyakan roti yang biasanya kita kotbahkan ketika bacaan itu dibacakan. Aku teringat kata-kata Yesus; “Kamu harus memberi mereka makan.”

Kawan, melihat apa yang terjadi di tengah umat, akhirnya waktu seminggu yang telah direncanakan dipersingkat menjadi 3 hari karena kami kehabisan persediaan beras untuk di makan. Karena itu, bersyukurlah bahwa kalian mendapatkan kesempatan untuk bersekolah, bahkan sampai ke luar negeri. Akan tetapi, semoga suatu waktu kalian tidak merasa besar di tengah umat kita yang sederhana ini. Mereka ada di sana, dan kita dipanggil untuk hidup dan berkarya di tengah mereka.


 Ok... Kawan-kawan sampai disini dulu kotbah hari ini. Disambung lagi di lain kesempatan. Selamat merenungkan. GBU.
 

Teriring salam dan doa,

Romo Andy Sainyakit, Pr.
Sanana- Kabupaten Kepulauan Sula

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Follow Us