Kamis, 07 Juli 2011

RENUNGAN MALAM: "BERHENTILAH MENGELUH DAN..."


Sapaan seorang sahabat untuk para sahabat,


Semalam pulang dari tempat pengakuan dosa sekitar jam 10 dan mendapati hidangan di atas meja cuma nasi dan supermie yang sudah dingin. Daripada mengeluh dan tidak menyelesaikan masalah maka lebih baik menyantap saja. Kasihan jika supermienya semakin dingin maka pasti akan dibuang. Kira-kira jam 12 mala...m ketika kembali ke meja makan masih tersisa juga supermie yang sama. Akhirnya makan lagi...biar siap untuk puasa hari ini...moga aja tidak dicap rakus... hehehe..

“Berhentilah mengeluh dan...,” menjadi bahan permenungan kita malam ini. Maaf bila kuposting jam 6 (Waktu Indonesia Tengah sama dengan waktu Manila) sehingga teman-teman di wilayah Indonesia Barat pasti menerima renungan malam pada sore hari. Aku kan bagaikan koki alias tukang masak yang perlu siapkan makanan sebelum waktunya biar aku bisa istirahat, walaupun resikonya mungkin sudah menjadi dingin. Akan tetapi jangan takut, soalnya kita kan punya alat pemanas yang tidak butuh tenaga listrik atau sinar matahari. Alat pemanas itu adalah hati dan pikiranmu yang sedang membaca tulisan ini.


“BERHENTILAH MENGELUH DAN...”


Dua minggu yang lalu, sepulang dari misa pagi, saya singgah di pasar dan membeli dua kepala ikan (atau dua ekor kepala ikan....hehehe....biarin) yang masih segar karena “es pendingin”...teringat di Ambon di mana hampir tidak pernah mencicipi “ikan es” karena semuanya segar dari laut. Setelah kembali ke tempat kost aku memberitahukan kepada teman romo lain yang sedikit tahu memasak untuk menyiapkannya sebagai santapan siang kami. Maklum, aku ini cuma jago makan...palingan kalau di dapur cuma bisa masak supermie untuk diri sendiri. Ya, karena dulu tidak ada kesempatan untuk belajar. Semuanya dilakukan oleh mama dan saudari perempuan. Hidup dalam sebuah tradisi yang tidak mengizinkan kaum lelaki memasuki areal dapur.

Dengan semangat menggebu-gebu teman romo itu mulai memasak. Sayangnya, beliau memberikan porsi air terlalu banyak sehingga layaknya kita sedang berenang di lautan Indonesia yang luas terbentang, tapi terutama karena rasanya kurang mantap demikian komentar teman lain, yang juga jago rasa tapi tidak tahu masak seperti saya. Ketika aku mendekati meja makan untuk mencicipi hidangan kepala ikan masakan teman romo, ada teman lain yang cuma mencicipi sedikit tapi karena rasanya seperti telah kugambarkan di atas maka beliau tidak meneruskan makannya. Melihat sikap dan mendengar komentarnya aku semakin “tancap gas”dengan menambah lagi dua potong ke dalam piringku. Ya, daripada komentar terus dan nantinya lapar maka lebih baik berpikir positif aja bahwa ikan itu tetap enak walaupun kelebihan sedikit kuanya.

Setiap kali duduk di meja makan untuk menyatap makanan, selalu teringat pesan mamiku di kampung sewaktu kecil;

“Nak, makanan adalah raja. Semua yang terhidang di atas meja adalah baik. Masakan mamamu memberi racun kepada anaknya sendiri? Meskipun demikian, tidak semua yang terhidang sesuai dengan seleramu. Karena itu, ambil dan makanlah apa yang anak suka, dan biarlah yang tidak disukai untuk mama saja. Jangan ambil yang anak tidak suka sehingga nantinya kamu mengeluh dan akhirnya berdosa karena tidak menghargai hasil kerja mama, tapi terlebih anak tidak menghargai pemberian Tete Manis (Tuhan).

Seorang dosenku di seminari tinggi pernah berpesan; “Soal selera tidak perlu diperdebatkan.” Benar! Tapi jika karena soal selera lalu kita mengeluh maka tentunya ada sesuatu yang salah dalam hati dan pikiran kita. Benarlah kata mamaku; Dengan mengeluh terhadapa makanan yang tersedia di atas meja hanya karena tidak sesuai dengan selera kita, maka bukan saja kita tidak menghargai mereka yang memasak, tapi terlebih kita menghina Tuhan yang menciptakan segalanya dan dikatakan baik adanya. Bukankah hanya karena selera kita maka ada yang enak dan kurang enak? Bahkan ada yang baik dan kurang baik? Memang seperti Adam yang diberi hak untuk menamai binatang-binatang di Taman Eden, maka kita turunannya juga menilai yang ini baik dan yang itu buruk walaupun Tuhan sendiri telah mengatakan semuanya baik adanya. Karena itu, baiklah kita mendengar nasehat mamaku; “Kalau ada yang tidak sesuai dengan seleramu alias tidak suka maka janganlah mengambilnya sehingga keluhan akan muncul dan bahkan membuatmu berdosa.”

Bukan saja dalam soal makan-minum tapi juga dalam banyak aspek kehidupan manusia, saudara dan aku selalu mengeluh dan lupa bahkan tidak mampu melihat keindahan di balik sebuah peristiwa atau kisah hidup. Lihatlah mereka yang selalu mengeluh terhadap kesekitarannya, atau bahkan terhadap diri dan miliknya sendiri. Pasti senyum menjadi sesuatu yang mahal terlihat di wajah mereka. Semalam dalam statusku aku mengatakan; “Orang yang selalu mengeluh sebenarnya secara tidak sadar semakin memperpendek waktunya untuk menikmati hidup.” Kepada teman-teman atau mereka yang selalu menghampiri kamar pengakuan dengan kesedihan dan linangan air mata, aku selalu menasehati mereka; “Putra/iku yang terkasih, air mata itu penting tapi rasanya hidup ini terlalu singkat untuk ditangisi. Jika seharian Anda menangis maka Anda telah kehilangan 24 jam untuk menikmati hidup sebagai anugrah terindah dari Tuhan.”

Saya selalu percaya bahwa “kebiasaan mengeluh” tidak akan menciptakan kedamaian baik bagi mereka yang hidup di sekitarmu maupun dirimu sendiri. Dengan mengeluh Anda mempersalahkan orang lain, dirimu sendiri bahkan Tuhan pun dipersalahkan atas kelemahan, penderitaan dan kegagalan yang Anda alami. Karena itu, saran saya kepadamu sebagai saudaraku; “Berhentilah mengeluh dan mulailah menikmati hidupmu yang sudah terhitung mundur ini.” Ketika Anda berumur di bawah 30-an pasti Anda menghitung maju hari-harimu, tapi ketika umurmu di atas 30-an maka lebih bijaklah jika Anda menghitung mundur sehingga selalu tersedia ruang di hidupmu untuk berbuat baik dan menjadi berkat bagi orang lain.

Akhirnya doa kecil kupanjatkan untukmu saudara-saudariku semoga Anda dapat menjadikan hidupmu berkat bagi orang lain. Aku selalu percaya bahwa “ucapan syukur adalah kunci yang membuka pintu rahmat berikutnya untukmu.”


Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,

***Duc in Altum***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Follow Us