Kamis, 07 Juli 2011

RENUNGAN MALAM: “DASAR ANJING!”


Inno Ngutra


“Kawan, jangan jengkel ya ketika membaca judulnya, karena kadang baju yang buruk membungkus tubuh yang indah, pun kadang bungkusan jelek membuat orang menghindari padahal yang ditutupinya adalah mutiara.”

... “Kuambil sebuah batu dan melemparinya, ia pun menjerit sambil berlari meninggalkanku.”

Kawan, ini kisahku tadi pagi di tengah perjalanan ke kampusku dengan seekor anjing yang kunamai “Mickey.” Langkahku di antara kampus-kampus universitas yang menjulang tinggi di sepanjang jalan dari station kereta api ke kampusku yang kutempuh kira-kira 25 menit setiap pagi terpaksa terhenti karena kejadian kecil di hadapanku. Segerombolan anjing berkelahi sambil berebut tulang dan sisa-sisa makanan buangan manusia. Yang besar dan berhasil mengalahkan lawannya, sedang asyik menyantap hasil raihannya sementara yang kecil ada yang menyingkir sedikit jauh sambil memandang tulang-tulang itu dengan guyuran air liur di mulutnya, sedangkan yang tidak tahan dengan perlakuan temannya terpaksa meninggalkan tempat sampah itu dengan sedih.

Tiba-tiba pandanganku terarah kepada sosok kecil, kurus yang duduk sedikit jauh dari sang raja yang sementara mengunyah tulang. Ia seakan tersenyum memandangku dan aku pun memberi senyum sebagai balasannya. Dialah si Mickey. Senyum kehancurannya (karena tidak mendapatkan tulang di pagi tadi) seakan mengatakan seribu keluhan jiwanya atas perlakuan teman terhadapnya. Pandangannya mengatakan kepadaku; aku tidak marah kepada temanku. Ia pantas mendapatkan tulang itu karena kekuatannya, sedangkan aku? Aku tak mau meratapi nasibku. Aku akan bangkit dari sini dan pergi mencari tulang-tulang lain, atau pun tidak, aku akan menunggu di sini menantikan buangan sampah kaummu pada waktu lain. Lalu, Si Mickey l bertanya kepadaku; “Tahukah kau apa perbedaan kaumku dengan kaummu? Aku hanya diam membiarkan si Mickey berbicara dalam jiwaku lewat tatapan lesuhnya. Ia menyambung, kami memang berebut tulang untuk mempertahankan dan melanjutkan hidup dengan cara saling berebutan bahkan berkelahi sehingga terluka, tapi kami tak pernah saling membunuh di antara kami. Apa yang terjadi dengan kaummu? Kamu pun saling berebutan harta, kekuasaan, jabatan dan uang, dan anehnya kamu bukan saja saling melukai tapi kamu pun saling membunuh. Mendengar penjelasan si Mickey aku jadi marah dan berkata; “Diam kau, Mickey! Engkau mau mengajariku tentang hidup? Asal kau tahu saja bahwa engkau hanyalah seekor anjing, binatang, tapi aku? Aku adalah manusia yang punya otak dan hati yang membuatku lebih luhur dan mulia darimu. Ia langsung manyalak; ak..ak..ak…(seakan menertawaiku) ia berkata; Engkau manusia? Tapi kenapa kelakuanmu tidak mencerminkan statusmu sebagai seorang manusia? Engkau punya mata tapi tidak melihat. Engkau punya telinga tapi tidak dapat mendengar. Engkau punya otak tapi tidak dapat berpikir. Engkau punya hati tapi tidak dapat merasa. Bukankah inilah Injil hari ini? Aku berguman dalam hati. Aku teringat akan sebuah buku yang kubeli tahun lalu dengan judul; “Cat and Dog Theology.” Anjing selalu mengatakan kepada tuannya; “Engkau telah memberiku makan. Engkau telah memeliharaku dan sekarang engkau harus menjadi tuan atasku.” Sifat anjing seperti inilah yang harus kita contohi dalam relasi kita dengan Tuhan, Yang telah menciptakan kita, member kita hidup, makanan dan minuman, tapi kadang tidak tahu berterima kasih kepada-Nya atas segala kebaikan-Nya. Tapi karena saking marahnya aku kepada Mickey sehingga aku tidak mau membiarkan kebaikan kaum Mickey merasuki pikiran dan hatiku saat itu. Aku berteriak; hentikan omong kosongmu, Mickey. Asal engkau tahu saja bahwa itu bacaan tadi pagi yang telah kubaca, kurenungkan dan kubuat dalam tulisan lalu kubagikan kepada teman-temanku di Indonesia. Si Mickey malah menyalak lebih nyaring lagi; aak..aak..aak…sambil membalasku; Engkau cuma menang bicara tapi kalah aksi, alias “nato” (no action talk only). Mendengar serangannya yang bertubi-tubi itu darahku seakan mendidih dan naik ke otakku sementara tanganku terggenggam gemetar ingin melabraknya. Melihat reaksiku seperti itu, si Mickey berkata pelan; Jadi, engkau sedang tersinggung? Aku berteriak dengan suara keras; Pergilah engkau Mickey…Pergi! Pergi! Aku tidak mau mendengar omonganmu lagi.

Karena takut, si Mickey pun bangun dan seakan mau melangkah pergi. Namun, sebelum pergi, ia menoleh lagi kepadaku dan berkata; “Kawan, lihatlah kelakuanmu terhadapku; sedangkan di tempat sampah yang bukan milikmu saja engkau berani mengusirku, apa yang akan terjadi bila aku berada di rumahmu, di istanamu? Aku cuma diam seakan membenarkan kata-kata si Mickey. Ia pun berkata; Anda boleh mengusirku tapi tolong jangan usir sesamamu manusia dari kehidupanmu, dari tempat di mana mereka berteduh dan merajut kasih. Terlebih lagi, jangan usirlah mereka dari ruang hatimu hanya karena mereka bukan dari golonganmu, hanya karena beda agama dan suku, hanya karena beda tujuan dan cara. Tapi kalau engkau akan melakukannya terhadap saudara-saudaramu maka renungkanlah yang satu ini; Apakah engkau layak disebut manusia yang punya otak dan hati? Lebih baik aku punya naluri yang mampu mencinta daripada hatimu yang keras membatu dan tak mampu merasa dan mencinta.
Mendengar semua kotbah si Mickey yang menyakitkan hati itu, aku mengambil sebuah batu dan melempar mengena tubuhnya. Si Mickey pun menjerit sambil berlari meninggalkanku.

Tibat-tiba satpam kampus menyapaku; Good morning, sir! Aku kaget karena ternyata aku telah sampai di pintu gerbang kampusku. Tanpa sepatah kata pun aku hanya menghormatinya dengan tangan kananku layaknya menghormati komandan upacara bendera. Satpam itu cuma tersenyum keheranan memandangku ketika aku berjalan memasuki kampus Universitas Santo Tomas.

Sore tadi ketika aku hendak merayakan misa di kapel kecil tempat biasanya kupersembahkan misa hari minggu, aku melihat sekumpulan anjing jenis kecil berlari di lantai dua rumah di samping jalan masuk ke kapel itu, tapi aku membuat seakan-akan tidak melihat mereka karena peristiwa dengan Mickey tadi pagi. Melihat aku yang sementara berjalan di jalan raya, mereka pun menyalak; aak..aak..aak.. seakan mengatakan kepadaku; Dasar manusia! Selalu menyimpan dendam. Karena misa akan segera dimulai maka aku hanya membalas mereka; “Dasar anjing!” selalu menyalak tanpa mampu bicara.

Salam seorang sahabat untuk para sahabat,

Romo Inno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Follow Us