Kamis, 07 Juli 2011

RENUNGAN MALAM: "KETIKA TUHAN DIKORBANKAN LAGI"


 Sapaan seorang sahabat untuk para sahabat,

Maaf karena baru pulang misa sore/malam sehingga renungannya agak terlambat menyapamu. Kuharap Anda tidak bosan membacanya karena ini lebih sebagai sebuah refleksi dan sharing pribadi tentang Sakramen Imamat dan Ekaristi yang menyatuh dalam diri seorang yang tertahbis menjadi imam. Akan tetapi tuli...san ini juga lumayan panjang.

                 Pertama-tama dari lubuk hatiku yang paling dalam aku mau memohon maaf kepada teman-teman romo di mana saja Anda berada, terutama yang sempat membaca tulisan ini, yang lebih sebagai sebuah sharing pribadi tentang apa yang menjadi tugas utama kita para imam, yakni “kita ditahbiskan untuk merayakan Ekaristi.” Sama sekali tidak terlintas dalam pikiran dan hatiku untuk menyombongkan diri dengan menceritakan kekurangan teman-teman, tapi apa yang kuharapkan dari teman-teman romo maupun umat yakni kita saling membantu mengingatkan satu sama lain agar benar-benar menghayati Ekaristi di dalam kehidupan kita sebagai umat Katolik.
 
              Ini adalah sebuah tulisan lama tapi karena tema permenungan kita masih sekitar Ekaristi maka biarlah kita semakin mendalami makna Ekaristi dalam hidup kita sebagai orang Katolik. Baiklah jika tulisan ini Anda kirim kepada teman-teman calon imam (para frater) untuk menjadi sebuah bahan pembelajaran dan peringatan dini untuk mereka.


 “KETIKA YESUS DIKORBANKAN”

Pengantar 
   
            Rasanya sudah lama situasi ini memendam dalam kalbuku dengan harapan bahwa suatu saat luka ini terambil dari padaku tapi nyatanya "luka baru selalu tergores di atas luka lama." Sebagai seorang imam sebenarnya sangat tidak etis bila keburukan teman di gembar-gemborkan ke hadapan umum, tapi bila sesuatu yang akan terungkap menjadi sebuah "pembelajaran" maka mungkin bisa dimengerti dan dipahami dari dan dalam konteks itu. Judul sharing di atas KETIKA TUHAN DIKORBANKAN lebih menjadi sebuah permenungan kecil sebagai seorang imam tentang “penghayatanku terhadap Ekaristi dalam hubungan dengan Sakramen Imamat dalam kehidupanku sebagai seorang imam.”

            Adapun realitas yang melatar-belakangi sharing ini adalah gejala bahwa banyak imam (atau setidak-tidaknya dalam jumlah yang terus bertambah) tidak melihat dan memandang Perayaan Ekaristi sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan imamatnya lagi. Ekaristi menjadi sesuatu yang hanya bersifat wajib ketika dirayakan pada hari minggu bersama umat, sedangkan hari-hari biasa adalah urusan pribadi sang imam dengan Tuhannya sehingga apa yang diserahkan kepada pribadi kadang dan banyak kali bersifat "fakultatif" untuk dirayakan, dan itu sangatlah tergantung pada situasi hati sang imam. Dalam konteks inilah, saya mencoba merangkaikan apa yang ada di dalam pikiran dan hatiku dengan kenyataan yang setidak-tidaknya kutemui selama 9 tahun menjadi seorang imam dalam sebuah sharing (tulisan) tentang makna Perayaan Ekaristi bagi hidup seorang imam.

Sakramen Ekaristi dan Imamat : Dua dalam Satu atau Dua  menjadi Satu. 

          Keterkaitan antara 2 sakramen ini sebenarnya sangatlah erat karena hanya seorang imamlah (karena imamatnya-lah), yang diperkenakan oleh Tuhan untuk memimpin (mengkonsekrasikan) hosti dan anggur yang fana menjadi Tubuh dan Darah Kristus (Sakramen Ekaristi). Dengan kata lain bahwa hakekat sakramen Imamat adalah melayakkan (mengizinkan) seseorang untuk memimpin perayaan Ekaristi di mana di dalamnya terjadi perubahan dari hosti dan anggur (bahan duniawi) menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Dengan demikian, dalam realitas terdapat 2 sakramen yang berbeda tapi telah menjadi satu dalam diri seorang yang tertahbis, yakni imam. Artinya, tahbisan yang diterima oleh seseorang (romo) dimaksudkan untuk merayakan Ekaristi setiap hari  baik dengan ataupun tanpa umat (Meskipun dalam rumusan hukum Gereja perayaan Ekaristi hanya dianjurkan secara tegas). Tugas seorang romo adalah merayakan Ekaristi setiap hari (tentunya itu tidak dimaksudkan bahwa pelayanan sakramental lain tidak penting). Apa yang kumaksudkan di sini bahwa  merayakan Ekaristi setiap hari adalah sangat penting (karena menjadi kekuatan bagi sang imam) untuk melakukan pelayanan lain. Itulah sebabnya dalam Lumen Gentium (Terang Bangsa Bangas) –Dokumen Konsili Vatikan II), dikatakan bahwa  “Ekaristi adalah SUMBER dan PUNCAK  hidup orang kristiani.” Kalau Ekaristi menjadi sumber dan puncak hidup kristiani maka hendaknya itu dirayakan setiap hari agar menjadi kekuatan bagi umat (Sayangnya, umat tidak diberi hak untuk memimpin dan merayakannya untuk diri mereka sendiri...beda dengan para imam). Tugas inilah yang dipercayakan kepada para imam karena sakramen Imamat yang diterimanya.

              Pemahaman di atas seiring dengan apa yang Yesus katakan kepada para murid-Nya dalam malam Perjamuan Terakhir; "Buatlah ini menjadi kenangan akan Daku" (Luk.22:19-20). Pertanyaannya; “Apakah kita hanya mau mengenangkan Dia pada hari minggu saja? Bagaimana dengan hari-hari lain?” Sedemikian sibukkah kita sehingga biarlah hari-hari biasa kita melupakan Dia untuk sementara waktu dengan catatan bahwa pasti kita merayakan Ekaristi sebagai kenangan akan Dia pada hari minggu? Kalau pandangan seperti itu masih ada dalam pikiran umat mungkin masih bisa dimengerti karena di satu pihak, mereka belum mengerti secara tuntas akan peranan sakramen Ekaristi sementara di lain pihak, walaupun ada kerinduan yang besar dalam hati mereka (umat) namun dalam diri mereka sendiri tidak terlekat "hak" seperti para imam untuk merayakannya. Kerinduan yang menggebu-gebu untuk menerima Ekaristi setiap hari tumbuh secara subur dalam diri orang-orang kudus teristimewa Sta.Therese dari kanak-kanak Yesus dan Sta. Fautina (Rasul Kerahiman Ilahi) ya mempunyai kerinduan yang besar untuk kalau bisa mereka tidak melalaikan satu hari pun tanpa merima sakramen Ekaristi. Menurut mereka; “Menerima Komuni Kudus adalah meneriman Yesus sendiri. Merayakan atau menghadiri Ekaristi setiap haria adalah cara mereka untuk  mengundang dan membiarkan Yesus merajai pikiran dan hati mereka sehingga ini akan menjadi kekuatan dalam melaksanakn tugas-tugas di hari yang akan mereka lalui.” Tapi apa yang terjadi jika sang imam sendiri tidak menganggap Ekaristi harian "kurang" bahkan “tidak” penting? (Maaf karena waktunya saja yang berbeda tapi hakiki perayaan Ekaristi tetap sama untuk setiap waktu dan hariApa saja kenyataan dan pandangan para imam tentang Ekaristi?

Ekaristi dalam Realitas Kehidupan Para Imam
    
             Maaf kalau apa yang akan kujelaskan di bawah ini seperti menjadi gejala umum tapi setidak-tidaknya itulah sekelumit pengalaman yang telah kutemui dalam perjalanan hidupku sebagai seorang imam yang tentunya tidak luput dari salah dan dosa. Aku ditahbiskan pada tahun 2001 dan langsung ditempatkan sebagai bendahara di Seminari Menengah St. Yudas Thadeus di Ambon. Setelah dua tahun bekerja di sana, Uskup menugaskanku sebagai asisten ekonom (bendahara keuskupan) selama 1 tahun. Dan, 2 tahun selanjutnya aku menerima jabatan sebagai ekonom kepala di Keuskupan Amboina. Setelah itu, awal tahun 2007 aku mendapatkan tugas mengikuti kursus dan belajar di Manila sampai sekarang....rupanya sudah menjadi tuan tanah di Manila nih. Penjelasan ini hanya mau mengatakan kepadamu bahwa karena tugas-tugas itu aku mempunyai banyak kesempatan untuk mengunjungi biara dan pastoran sehingga kebenaran akan apa yang nantinya kutuliskan bisa dipertanggung jawabkan.

              Pertama-tama, aku tidak menempatkan diriku sebagai yang terbaik di antara teman-teman para imam (Maafkanlah aku, saudaraku para imam). Tapi dalam satu hal ini; kesadaran untuk menempatkan Ekaristi sebagai sumber dan puncak kehidupan seorang imam, betul-betul telah kuusahakn melalui proses yang panjang. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran dan hati teman-teman terhadap Ekaristi,  tapi bagiku; “Ekaristi hanya bisa menjadi sumber dan puncak kehidupanku sebagai seorang imam ketika aku bisa merayakannya setiap hari. Bagaimana mungkin aku mengakui dengan bibir kebenaran ini tapi dalam kenyataannya aku lalai untuk merayakan Ekaristi setiap pagi/hari?”  Apa yang kualami dalam kunjungan ke pastoran-pastoran, biara, ataupun tempat hidup bersama para imam seperti rumah keuskupan, rumah imam projo dan lain-lain, sungguh menjadi sesuatu yang sangat bervariasi dalam kenyataannya, terutama dalam penghayatan para imam terhadap Ekaristi. Tak dapat disangkal bahwa tidak semua imam, tapi ada saja yang terjadi bahwa Ekaristi hanya diabaikan karena alasan-alasan pribadi semata. Kenyataan-kenyataan ini sering kutemukan dalam kehidupan bersama;
  • Ada imam yang merayakan/hadir dalam perayaan Ekaristi hanya karena ada Uskup/superior atau pimpinan. Jadi, Ekaristi itu (kehadiran Tuhan) ditentukan oleh kehadiran para pimpinan. Ketika pimpinan/uskup tidak berada di tempat maka TUHAN LALU DIKORBANKAN.
  • Yang lain karena alasan nonton atau belajar sampai larut sehingga tidak bisa bangun untuk merayakan/hadir dalam Ekaristi. (Kalau tahu bahwa Anda mengalami kesulitan untuk bangun, kenapa musti nonton atau belajar sampai larut?) Ada yang lebih senang duduk berjam-jam di hadapan televisi atau komputer daripada menghabiskan waktu setengah jam tiap hari untuk hadir/merayakan Ekaristi. Sungguh, TUHAN DIKORBAKAN LAGI karena kepentingan diri kita.
  • Yang lain lagi merasa bahwa Ekaristi bukan segala-galanya, karena masih ada hal lain yang harus dilaksanakan daripada merayakan Ekaristi. Terkadang bahwa ada yang tidak hadir dalam Ekaristi pagi tapi ketika datang waktu makan, mereka malah beramai-ramai datang ke meja makan. (Memang karena hosti dalam Ekaristi tidak mengenyangkan perut bila dibandingkan dengan nasi sepiring) Sungguh, TUHAN DIKORBAKAN LAGI hanya karena kepentingan perut.

               Masih ada banyak fakta yang bisa terungkap tapi kiranya menjadi cukup jelas untuk mengungkapkan bahwa justru orang-orang yang dipercayakan atau mendapatkan hak khusus untuk merayakan Ekaristi itu sendiri tidak merasa bahwa Ekaristi sungguh menjadi sumber dan puncak kehidupan mereka, lalu apa yang bisa Anda yakinkan kepada umat yang hadir dalam perayaan Ekaristi yang sempat Anda rayakan?

              Setiap kali menyaksikan kenyataan di atas, hatiku selalu tergores. Aku telah meminta kepada Tuhan, biarlah hal ini diambil daripadaku, tapi setiap saat pengalaman yang sama terulang dalam kehidupanku. Apa yang kukatakan di atas  luka baru tergores di atas luka lama, sungguh menjadi pengalaman sepanjang hayat.  Di satu pihak, kadang aku merasakan diri sebagai yang terbaik dalam hal ini (kesombongan rohani) dan aku meminta Tuhan biarlah ini terambil dari padaku karena itu adalah urusan setiap pribadi dengan Tuhan, tapi di lain pihak,  kenyataan itu selalu mengiringi perjalanan hidupku sebagai seorang imam.

               Apa yang terjadi jika sang imam yang mendapatkan hak untuk merayakan Ekaristi bagi umat saja tidak memandang Ekaristi sebagai sumber dan puncak kehidupan imamatnya setiap hari, bagaimana ia dapat meyakinkan umat akan kebenaran ini? Kalau sang imam sendiri telah kehilangan makna Ekaristi bagi kehidupan imamatnya, maka Ekaristi akan dirayakan hanya sebatas sebuah kewajiban tanpa makna. Tentunya kita tidak bisa menilai secara sederhana seperti ini, tapi kita perlu mengukurnya dari apa yang nampak dalam kehidupan sang imam itu sendiri. Di satu pihak, hanya Tuhanlah yang tahu setiap hati yang merayakan Ekaristi secara benar, tapi biarlah di lain pihak, kita para imam menunjukkan secara lahiriah bahwa Ekaristi mendapatkan tempat utama dalam pelayanan kita sebagai seorang imam. Kita ditahbiskan untuk merayakan Ekaristi (menjadi perantara) yang dalam tangan dan kata-kata kitalah hosti dan anggur yang fana itu telah berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Pelayanan lain, seperti: mengajar, memberikan katekse, melayani orang miskin, dan lain-lainnya bisa dilakukan oleh awam tapi hanya satu yang tidak bisa mereka lakukan adalah memimpin perayaan Ekaristi. Kalau kita para imam sendiri yang tertahbis untuk itu tidak menganggap perayaan Ekaristi sebagai sesuatu yang penting, bagaimana mungkin kita bisa meyakinkan umat akan kebenaran ini?  

Kesimpulan

            Oleh karena itu, sebelum berjuang meyakinkan umat akan kebenaran Ekaristi sebagai sumber dan puncak kehidupan umat katolik, sang imam sendiri harus terlebih dahulu membuatnya menjadi sumber dan puncak kehidupan pribadinya (kehidupan imamatnya) sehingga apa yang akan diwartakan bukan semata apa yang diketahui melainkan betul-betul apa yang dialaminya. Aku hanya berharap sebagai seorang imam yang sederhana, semoga teman-teman para imam betul-betul menjadikan Ekaristi sebagai sebuah perayaan keselamatan yang harus dirayakan setiap hari, apapun alasannya. Mengatakan semuanya ini pasti selalu menjadi kritikan dan peringatan bagi diriku sendiri, karena aku pun hanya seorang imam yang sederhana, lemah dan rapuh yang berjuang selalu untuk menjadi “imam bonus” bagi dan untuk umat.

            Ini yang pantas kita renungkan, khususnya untuk para imam; “Jika kita yang diberi hak untuk memimpin perayaan itu saja sudah bosan bahkan malas, bagaimana mungkin umat dapat menerima Tubuh dan Darah Kristus?” Kasihan, mereka tidak pernah diberi hak dan wewenang seperti saudara dan aku untuk berdiri di belakang altar dan mengucapkan kata-kata ini; “Inilah Tubuh dan Darah Kristus.


”Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,

***Duc in Altum***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Follow Us