Selasa, 16 Agustus 2011

RENUNGAN MALAM: "BUKAN APA TAPI CARA"



Sapaan seorang sahabat untuk para sahabat,

Pemberian kepada orang lain, terutama kepada mereka yang miskin dengan cara apa pun pasti disyukuri sebagai rahmat dan berkat. Akan tetapi perlu juga ada saat di mana kita mengevaluasi kembali atas caranya kita membagi kasih dan rahmat itu, karena sesungguhnya orang lain mengetahui siapa diri kita dari caranya kita berbicara dan memberi.

“Bukan Apa tapi Cara,” adalah sebuah tulisan berdasarkan sentuhan pengalaman bersama seorang kakek yang mengajarku tentang hikmah hidup lewat kata-katanya. Semoga Anda pun rela berubah lewat tulisan berserakan ini.


BUKAN APA TAPI CARA



"Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan."...amin(Markus.12:​33)

"karena mereka menyegarkan rohku dan roh kamu. Hargailah orang-orang yang demikian!"...amin (1 Korintus.16:18)

Syallom,
Alkisah,seorang Ibu berbibir merah merona dengan kaca mata hitam besar di matanya cuma membuka kaca mobilnya dan melego beberapa bungkusan ke arah para pengemis yang berjejer di tempat kumuh itu. Para pengemis itu pun mulai berebutan mendapatkan apa yang bisa didapatkan sebagai rezeki dari ibu yang murah hati itu. Kebetulan lewat di tempat itu sambil berjalan kaki, aku memperhatikan sebuah pemandangan aneh di mana seorang kakek hanya duduk memandang teman-teman yang berebutan rezeki itu dengan tatapan hampa seakan merasa sedih di antara kegembiraan teman-temannya.

Melihat situasi aneh itu, aku lalu menghampirinya dengan sebuah botol aqua di tangan dan beberapa potong roti. Kemudian aku mengambil tempat di samping tempat duduknya sambil berusaha membaca apa yang membuat hati kakek itu begitu galau di sore itu. Membuka pembicaraan dengannya aku enggan, karena itu, aku menyodorkan botol aqua itu dengan roti yang ada di tanganku sambil berucap; “Pa, jika engkau berkenan, terimalah pemberianku ini.” Seketika ia sadar bahwa ada orang (aku) disampingnya. Ia berpaling kepadaku dan sambil membuka kedua telapak tangannya, ia menerima pemberian kecil itu dengan penuh rasa haru. Tak terasa tetesan air mata mulai berjatuhan membasahi kedua pipinya yang sudah berkerut termakan usia dan penderitaan batin dan raga. Ia cuma diam sementara air matanya terus berjatuhan ke tanah menembus hati dan jiwa ibu pertiwi. Kubiarkan saja situasi itu berlangsung untuk beberapa menit sambil meletakkan tanganku di pundaknya, mengelus lembut seakan memberi ketenangan kepadanya agar ia merasa bahwa ia tak pernah sendirian walaupun hanya sesaat saja.

Akhirnya, aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya; “Pa, maaf bila aku bertanya sesuatu kepadamu.” Ia menjawabku; “Silakan anak! ”Kenapa bapak tidak ikut berebutan bungkusan yang diberikan oleh ibu tadi? Tanyaku. “Anak, aku memang miskin. Aku memang lapar. Aku memang tidak mempunyai apa-apa bila dibandingkan dengan kalian, terutama ibu kaya tadi. Akan tetapi aku memiliki hati seorang manusia. Tentunya aku menginginkan barang-barang itu, tapi caranya ibu memberikannya kepada kami sungguh melukai hatiku. Aku tahu aku tidak boleh begitu, tapi aku pun tidak mau kalian memperlakukan kami sebagai binatang. Apa bedanya bila engkau membuang saja bungkusan itu kepada kami layaknya kepada anjing di pinggir jalan? Perhatikanlah anakku; kepada binatang piaraan, kamu memanggil nama seperti; Raja, Putri, dan lain-lain, membelai mereka dan kemudian menundukkan dirimu dan memberi mereka makan, bahkan kamu menjaganya sampai anjing kesayanganmu selesai makan. Apakah kamu tidak datang sejenak saja membuka pintu mobilmu, keluar, duduk sepertimu saat ini dan memberikan bungkusan itu kepada kami, yang adalah manusia dan lebih tinggi martabatnya daripada binatang-binatang piaraan kalian?

Sekali lagi, aku memang miskin tapi aku punya martabat. Ini bukan tentang aku dan kemiskinanku tapi tentang bagaimana engkau memperlakukan aku dan teman-temanku. Kamu boleh mempersalahkan kami karena kemiskinan kami, dam kami pasti menerimanya, tapi biarlah kehadiran kami di sini menjadi kesempatan bagimu untuk belajar menjadi seorang manusia seperti Yesus dulu, Yang demi menyelamatkan kita, Ia rela lahir di kandang hina Betlehem, berbaring di atas palungan dalam keadaan penuh kehinaan. Anak, ini bukan tentang apa yang kamu berikan tapi tentang caramu kalian memberi sesuatu kepada orang lain.

Aku hanya diam seribu kata mendengarkan hikmat dari kakek itu di sore yang berawan dan tak lama lagi hujan akan datang itu. Aku sungguh malu terhadap diriku sendiri ketika mendengarkan petuah dari kakek pengemis ini. Karena hari akan hujan maka aku pamit dari kakek bijaksana itu sambil merenungkan akan kata-katanya yang telah menghancurkan kesombongan dan keangkuhan hatiku.

Sadar atau tidak sadar kita pun pernah, sedang dan akan melakukan hal yang sama seperti itu kaya tadi. Kita berpikir sederhana saja bahwa orang miskin pantas dikasihani sehingga cara apa pun kita memberi tidak menjadi masalah bagi dan untuk mereka. Dan, memang benar bahwa pada umumnya mereka pasti bersyukur entahkah dengan cara apa pun kita membantu mereka; memberi sesuatu secara langsung ke atas tangan mereka, melego bagaikan ibu tadi, atau pun bahkan melempar pun pasti akan diterima oleh sebagian besar pengemis. Akan tetapi kakek tadi memberi pelajaran bagi kita untuk bukan hanya memperhatikan apa yang kita beri tapi caranya kita memberi perlu dilakukan dengan sebuah cinta yang tulus. Petuahnya mengajarkan kepada kita bukan kenyataan bahwa mereka adalah miskin tapi bagaimana kita melalui cara yang manusiawi memberi dan membantu mereka. Kualitas pemberian kita bukan tergantung pada besar kecilnya, sedikit banyaknya, bagus tidaknya apa yang kita beri, tapi bagaimana kita memberi sehingga bukan hanya mendatangkan berkat bagi mereka tapi juga mengungkapkan keluhuran martabat kita sebagai manusia.

Bila kita melihat kembali diri kita, maka kita akan menyadari bahwa masing-masing orang punya kemampuan yang berbeda. Betapa Tuhan ingin agar kita menjadi berkat bagi orang, tapi caranya kita memberi akan membuat apa yang kecil dan sederhana yang kita miliki akan menjadi berkat yang tak terlupakan dalam hidup orang lain. Semalam aku menulis di statusku sebagai renungan malam; “Kita pantas berbangga bahwa banyak di antara kita mempunyai kemampuan untuk memiliki pengetahuan yang lebih tentang iman dan ajaran Gereja Katolik, tapi hanya sedikit yang mampu memberikannya kepada orang lain dengan cara yang sederhana sehingga menjadi berkat bagi orang lain.” Karena itu, pengetahuanmu akan menjadi berkat bagi orang lain bukan semata tergantung pada apa yang Anda katakan, tapi apakah penjelasan-penjelasanmu mampu mengubah hati dan pikiran orang lain sehingga mereka mengimani Yesus dan tetap tinggal di dalam Gereja-Nya?

Akhirnya, sebagai seorang sahabat aku hanya membisikkan kepadamu; Belum bahkan tidak ada yang terlambat untuk sebuah perubahan diri, asalkan kita rela untuk melakukannya. Sekali lagi, marilah kita gunakan segala yang kita miliki, entah barang maupun keahlian/talenta kita bukan sebagai alasan untuk membangun sebuah kesombongan diri, melainkan sebagai berkat bagi orang lain yang mengenal dan hidup bersama kita.

Tuhan Yesus memberkati kita semua,amin.

Salam dan doa seorang sahabat untuk para sahabat,

***Duc in Altum***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories

Follow Us